
Tulisan ini mengandung spoiler.
Adolescence, serial 4 episode yang tayang di Netflix, adalah cermin yang memantulkan berbagai ketidaksiapan kita menghadapi kompleksitas era digital.
Adolescence memuncaki rating TV Inggris, dengan 6,45 juta penonton pada minggu pertama sejak tayang 13 Maret 2025.
Film ini didiskusikan oleh parlemen Inggris. Jack Thorne, sutradaranya, menyarankan agar undang-undang yang melarang akses media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun segera disahkan.
Serial ini berpusat pada Jamie Miller, remaja 13 tahun yang dituduh membunuh teman sekelasnya, Katie.
Adolescence mengungkap akar masalah Jamie secara komprehensif. Episode pertama menunjukkan pola penggunaan media sosial Jamie.
Episode kedua mengungkap sistem pendidikan yang hanya berfokus pada capaian akademik. Sekolah Jamie menjadi arena perundungan dan persaingan akademik yang mengabaikan kebutuhan emosional siswa.
Pendidikan seharusnya bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga internalisasi nilai-nilai moral yang memungkinkan seseorang menjadi bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab.
Ketika pendidikan hanya menekankan aspek kognitif, nilai-nilai tersebut terfragmentasi dan kehilangan maknanya.
Dr. Julien Kloeg dari Erasmus Universiteit Rotterdam, ketika mengkritik argumen filsuf Hannah Arendt tentang pendidikan, menguraikan bahwa pendidikan berada dalam zona ambigu antara ranah privat dan publik.
Pendidikan bukan semata-mata bagian dari masyarakat atau publik, tetapi ruang antara yang memungkinkan interaksi antara dua ranah tersebut tanpa menghilangkan esensi dari masing-masing.
Adolescence menunjukkan bagaimana Jamie hidup di antara dunia privat (keluarga) dan dunia publik (media sosial). Kurangnya keseimbangan dari kedua dunia tersebut menyebabkan Jamie mencari pengakuan dan pemahaman dari dunia digital yang justru memperparah isolasinya.
Pengaruh dunia digital yang menimbulkan ketidakseimbangan di atas dituangkan dalam episode ketiga. Jamie terpapar ide misoginis dan narasi incel (involuntary celibacy) yang mengaburkan pandangannya terhadap dunia nyata.
Alih-alih menghubungkan, teknologi justru memperdalam keterasingan dan rasa kesepiannya.