
Sang paman kerap memberikan bantuan berupa sembako yang dianggap lebih bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar.
Namun, niat baik tersebut justru berujung pada teror yang tidak terduga, ketika sang paman tak memberi bantuan.
Jendela rumahnya pecah akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, beberapa tetangga menagih bantuan yang sebelumnya diberikan, seolah itu merupakan kewajiban sang paman untuk terus berbagi.
Merasa tidak nyaman, ia pun memutuskan untuk berhenti memberikan bantuan. Sayangnya, keputusan tersebut justru memicu reaksi negatif dari sejumlah warga yang merasa bergantung pada sedekah yang diberikan.
Menanggapi peristiwa ini, sosiolog Nia Elvina mengungkap, fenomena tersebut terjadi akibat semakin terkikisnya empati dan nilai harga diri dalam masyarakat.
“Saya kira fenomena demikian berakar dari semakin terkikisnya empati dan nilai harga diri dalam masyarakat kita,” ujar Nia kepada Kompas.com, Kamis (3/4/2025).
Dalam pandangan sosiologis, masyarakat Indonesia masih kental menganut sistem patron-klien atau sistem timbal balik yang tidak sederajat.
Hal ini menyebabkan mereka yang terbiasa menerima bantuan cenderung tidak berusaha lebih untuk mencukupi kebutuhan sendiri, melainkan bergantung pada pemberian orang lain.
Ia menilai, fenomena minimnya empati dan nilai harga diri juga terjadi di kalangan pengelola negara. Hal ini menciptakan siklus ketergantungan dalam masyarakat.
“Jadi apa yang dilakukan oleh pemimpin atau pengelola negara ini segera ditiru dan dikembangkan oleh masyarakat kita,” jelas dia.
“Misalnya, sudah diberikan kedudukan oleh masyarakat, tetapi tidak berempati terhadap rakyatnya,” tambah Nia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan tanpa membangun kemandirian justru bisa berdampak buruk, baik bagi pemberi maupun penerima.
Tidak ada salahnya untuk berbagi dan terus menebar kebaikan, namun apabila tindakan ini membuat ketergantungan, maka sebaiknya buat batasan yang tegas.